Categories
Teori Interaksionisme Simbolik
Pernikahan Heny dan Saiful nyaris gagal. Pemicunya sebenarnya hal spele, beberapa untai kalimat dalam telepon terakhir Heny sebelum hari pernikahan. “Mas, keluargaku minta, besok saat resepsi di hotel, dari keluarga Mas Saiful jangan membawa anak-anak.” Itu yang disampaikan Heny , pangkal suasana panas di keluarga Saiful. Lidah Saiful kelu, hatinya kacau tidak karuan, ketika berhadapan dengan sidang mendadak keluarga besarnya, seusai menyampaikan pesan calon istrinya itu.
“Kita memang dari keluarga miskin, tapi kita punya harga diri,” suara ayah Saiful meninggi. “Calon mertuamu terlalu sombong, besok aku tidak akan datang!” tegas sang ayah. “Aku ikut ayahmu,” timpal ibu Saiful. Suasana tambah hening, menegangkan. Semua pandangan mata tajam menyorot muka Saiful yang tertunduk lesu.
Ancaman ayah Saiful bukan gertakan semata. Keluarga besar Heny mulai gelisah. Pukul 09.30, pada hari ‘H’ pernikahan, semua tamu telah berkumpul, tapi Saiful dan keluarga besarnya belum juga kelihatan. Sesuai jadwal, semestinya akad nikah dilangsungkan pukul 09.00. Tepat pukul 10.00, sebuah mobil berhenti, Saiful keluar dengan langkah gontai. Tak ada anggota kelurarga yang menyertainya. “Maaf, bapak dan ibu nggak bisa datang” ungkap Saiful singkat. Raut malu dan sedih tidak bisa ditutupinya.
Untunglah petugas KUA bertindak sigap. “Pernikahannya bisa dimulai sekarang?” Tanya Pak Ahmad Mashudi, memecah ketegangan. “Silakan Pak,” itu saja jawaban ayah Heny lirih. Akad nikah pun berjalan lancar, begitu pula resepsi pernikahan beberapa jam sesudahnya. Tetapi, setiap tamu yang hadir menyimpan pertanyaan: kenapa tak seorang pun keluarga Saiful kelihatan dalam acara sepenting itu.
Keluarga Heny dan Saiful memiliki latarbelakang yang berbeda. Keluarga Heny adalah tipikal keluarga kelas atas yang tinggal di perkotaan. Mereka terbiasa dengan hidup yang praktis, efesien, dan mengagungkan gengsi. Mereka bukannya tidak suka anak, tetapi mereka tak menginginkan kehadiran anak-anak kampung, yang tidak hanya membuat gaduh dan kotor tetapi juga berpotensi menurunkan gengsi keluarga. Anak-anak ini memang representasi keluarga Saiful, yang tinggal di perkampungan. Ayah Saiful adalah seorang petani, ibunya pedagang kelapa di pasar kampung. Mereka memang hanya tamat SD, tetapi sangat mencintai pendidikan. Keempat anaknya disekolahkan hingga perguruan tinggi. Saiful adalah anak ketiga, lulusan fakultas Teknik PTN terkemuka. Saiful kini berkerja sebagai konsultan arstektur sebuah lembaga konsultan teknik asal Singapura. Sebagaimana orang desa umumnya, keluarga besar Saiful terbiasa hidup komunal. Mereka sangat mencintai keluarga dan persaudaraan. Mereka adalah tipikal penganut “mangan ora mangan asal kumpul”. Apapun kondisinya, bagi mereka, kebersamaan adalah segalanya.
Dua keluarga di atas memiliki pemaknaan yang berbeda terhadap pesta pernikahan, karenanya mereka berbeda sikap atas kehadiran anak-anak. Makna dan tindakan, inilah salah satu fokus teori interaksionisme simbolik.
Latarbelakang Teori
Teori interaksionisme simbolik mewarisi tradisi dan posisi intelektual yang berkembang di Eropa pada abad 19 kemudian menyeberang ke Amerika terutama di Chicago. Sebagian pakar berpendapat, teori interaksionisme simbolik dikembangkan oleh George Herbert Mead. Namun terlebih dahulu dikenal dalam lingkup sosiologi interpretatif yang berada di bawah payung teori tindakan sosial (action theory) yang dikemukakan oleh filosof dan sekaligus sosiolog besar Max Weber (1864 – 1920).
Meskipun teori interaksi simbolik tidak sepenuhnya mengadopsi teori Weber namun pengaruh Weber cukup penting. Salah satu pandangan Weber yang dianggap relevan dengan pemikiran Mead, bahwa tindakan sosial bertindakan jauh, berdasarkan makna subjektifnya yang diberikan individu-individu. Tindakan itu mempertimbangkan perilaku orang lain dan karenanya diorientasikan dalam penampilan.
Dalam perkembangan selanjutnya teori interaksionisme simbolik ini dipengaruhi beberapa aliran di antaranya mashab Chicago, Mazhab Iowa, pendekatan dramaturgis dan etnometodologi serta banyak diilhami pandangan filsafat, khususnya pragmatisme dan behaviorisme.
Aliran pragmatisme yang dirumuskan oleh John Dewey, William James Charles Pierce dan Josiah Royce mempunyai beberapa pandangan. Pertama, realitas sejati tidak pernah ada di dunia nyata, melainkan secara aktif diciptakan ketika kita bertindak terhadap dunia. Kedua, manusia mengingat dan melandaskan pengetahuan mereka tentang dunia pada apa yang terbukti berguna bagi mereka. Ketiga, manusia mendefinisikan objek fisik dan objek sosial yang mereka temui berdasarkan kegunaannya bagi mereka termasuk tujuan mereka. Keempat, bila kita ingin memahami orang yang melakukan tindakan (actor), kita harus berdasarkan pemahaman itu pada apa yang sebenarnya mereka lakukan di dunia. Sementara aliran behaviorisme yang dipelopori Watson berpendapat bahwa manusia harus dipahami berdasarkan apa yang mereka lakukan (Mulyana, 2001: 64).
Sebagai pencetus teori interaksionisme simbolik, George H. Mead, pada awalnya Mead memang tidak pernah menerbitkan gagasannya secara sistematis dalam sebuah buku. Para mahasiswanya lah yang setelah kematian Mead kemudian menerbitkan pemikiran Mead tersebut dalam sebuah buku yang berjudul Mind, Self and Society. Herbert Blumer, teman sejawat Mead, kemudian mengembangkan dan menyebutnya sebagai teori interaksionisme simbolik. Sebuah terminologi yang ingin menggambarkan apa yang dinyatakan oleh Mead bahwa “the most human and humanizing activity that people can engage in—talking to each other.”
Esensi Teori
Simbol merupakan esensi dari teori interaksionisme simbolik. Teori ini menekankan pada hubungan antara simbol dan interaksi. Teori Interaksi Simbolik merupakan sebuah kerangka referensi untuk memahami bagaimana manusia, bersama dengan manusia lainnya, menciptakan dunia simbolik dan bagaimana dunia ini, dan bagaimana nantinya simbol tersebut membentuk perilaku manusia. Teori ini juga membentuk sebuah jembatan antara teori yang berfokus pada individu-individu dan teori yang berfokus pada kekuatan sosial.
Ide-ide teori ini nantinya sangat berpengaruh dalam kajian bidang ilmu komunikasi. Banyak peneliti menggunakan teori ini, seperti Gail McGregor (1995) menggunakan teori ini untuk mengkritik penggambaran gender dalam iklan. Patricia Book (1996) mempelajari pengaruh naratif dalam keluarga terhadap kemampuan seseorang untuk berkomunikasi mengenai kematian. Linda Trevino, dkk., mempelajari mengenai pilihan manajer untuk berkomunikasi tatap muka, komunikasi tertulis, dan komunikasi secara elektronik di tempat kerja dengan menggunakan kerangka teori ini. Judy Peterson dan Shannon Van Horn (2004) menemukan bahwa teori interaksi simbolik membingkai perasaan orang dewasa yang lebih tua mengenai identitas gender. Namun beberapa peneliti mengamati bahwa teori interaksi simbolik adalah sebuah komunitas teori (payung), bukan suatu teori yang sederhana.
Ralph LaRosa dan Donald C. Reitzes (dalam West dan Turner, 2009: 96) mencatat tujuh asumsi yang mendasari teori interaksionisme simbolik. Tujuh asumsi tersebut memperlihatkan tiga tema besar, yakni:
- Pentingnya makna bagi perilaku manusia;
- Pentingnya konsep mengenai diri;
- Hubungan antar individu dan masyarakat.
Teori interaksi simbolik berpegang bahwa individu membentuk makna melalui proses komunikasi karena makna tidak bersifat intrinsik terhadap apapun. Dibutuhkan konstruksi interpretif di antara orang-orang untuk menciptakan makna. Bahkan tujuan dari interaksi adalah untuk menciptakan makna yang sama. Tentang relevansi dan urgensi makna, Blumer (1969) memiliki tiga asumsi interaksi simbolik bahwa: 1) Manusia bertindak terhadap manusia lainnya berdasarkan makna yang diberikan orang lain pada mereka; 2) Makna diciptakan dalam interaksi antarmanusia; 3) Makna dimodifikasikan dalam proses interpretif.
Kisah Henny dan Saiful di atas adalah contoh bagaimana pemaknaan yang berbeda akhirnya melahirkan sikap yang berbeda pula. Interaksi sosial di antara keluarga ini memang berbeda, sehingga berbeda pula dalam pemaknaan. Setting pedesaan yang komunal melahirkan pemaknaan bahwa kebersamaan itu adalah segalanya. Sementara lingkungan perkotaan yang metropolis dan individualis mendorong pemaknaan bahwa hidup harus efektif, praktis dan bercita rasa.
Tema kedua yang menjadi asumsi utama dari interaksi simbolik berfokus pada pentingnya konsep diri (self concept). Konsep ini merujuk pada seperangkat persepsi yang relatif stabil yang dipercaya orang mengenai dirinya sendiri. Tema ini memiliki dua asumsi tambahan. Pertama, individu-individu mengembangkan konsep diri melalui interaksi dengan orang lain. Kedua, konsep diri memberikan motif yang penting untuk perilaku.
Tema yang terakhir teori ini berkaitan dengan hubungan antara kebebasan individu dan batasan sosial. Mead dan Blumer mengambil posisi di tengah untuk pernyataan ini. Mereka mencoba untuk menjelaskan baik mengenai keteraturan dan perubahan dalam proses sosial. Asumsi-asumsi yang berkaitan dengan tema ini adalah: 1) orang dan kelompok dipengaruhi oleh proses budaya dan sosial; dan 2) struktur sosial dihasilkan melalui interaksi sosial.
Blumer mengemukakan tiga prinsip dasar interaksionisme simbolik yang berhubungan dengan meaning, language, dan thought. Premis ini kemudian mengarah pada kesimpulan tentang pembentukan diri seseorang (person’s self) dan sosialisasinya dalam komunitas yang lebih besar.
1. Meaning (makna): Konstruksi Realitas Sosial.
Blumer mengawali teorinya dengan premis bahwa perilaku seseorang terhadap sebuah objek atau orang lain ditentukan oleh makna yang dia pahami tentang objek atau orang tersebut.
2. Language (Bahasa): Sumber Makna.
Seseorang memperoleh makna atas sesuatu hal melalui interaksi. Sehingga dapat dikatakan bahwa makna adalah hasil interaksi sosial. Makna tidak melekat pada objek, melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa. Bahasa adalah bentuk dari simbol. Oleh karena itu, teori ini kemudian disebut sebagai interaksionisme simbolik.
Berdasarkan makna yang dipahaminya, seseorang kemudian dapat memberi nama yang berguna untuk membedakan suatu objek, sifat atau tindakan dengan objek, sifat atau tindakan lainnya. Dengan demikian premis Blumer yang kedua adalah manusia memiliki kemampuan untuk menamai sesuatu. Simbol, termasuk nama, adalah tanda yang arbiter. Percakapan adalah sebuah media pencitaan makna dan pengembangan wacana. Pemberian nama secara simbolik adalah basis terbentuknya masyarakat. Para interaksionis meyakini bahwa upaya mengetahui sangat tergantung pada proses pemberian nama, sehingga dikatakan bahwa interaksionisme simbolik adalah cara kita belajar menginterpretasikan dunia.
3. Thought (Pemikiran): Proses pengambilan peran orang lain. Premis ketiga Blumer adalah interpretasi simbol seseorang dimodifikasi oleh proses pemikirannya. Interaksionisme simbolik menjelaskan proses berpikir sebagai inner conversation, Mead menyebut aktivitas ini sebagai minding. Secara sederhana proses ini menjelaskan bahwa seseorang melakukan dialog dengan dirinya sendiri ketika berhadapan dengan sebuah situasi tersebut. Untuk bisa berpikir maka seseorang memerlukan bahasa dan harus mampu untuk berinteraksi secara simbolik. Bahasa adalah software untuk bisa mengaktifkan mind.
Kontribusi terbesar Mead untuk memahami proses berpikir adalah pendapatnya yang menyatakan bahwa manusia memiliki kemampuan yang unik untuk memerankan orang lain (taking the role of the other). Sebagai contoh, pada masa kecilnya, anak-anak sering bermain peran sebagai orang tuanya, berbicara dengan teman imajiner dan secara terus menerus sering menirukan peran-peran orang lain. Pada saat dewasa seseorang akan meneruskan untuk menempatkan dirinya pada posisi orang lain dan bertindak sebagaimana orang itu bertindak. Mengambil orang lain sebagai model untuk ia tiru dalam setiap tindak tanduk keseharian.
Setelah memahami konsep Meaning, language dan thought, maka kita dapat memperkirakan konsep Mead tentang diri (self). Mead menolak anggapan bahwa seseorang bisa megetahui siapa dirinya melalui introspeksi. Ia menyatakan bahwa untuk mengetahui siapa diri kita maka kita harus melukis potret diri kita melalui sapuan kuas yang datang dari proses pengambilan peran (taking the role of the other). Proses ini berusaha membayangkan apa yang dipikirkan orang lain tentang diri kita. Para interaksionis menyebut gambaran mental ini sebagai the looking glass self dan hal itu dikonstruksi secara sosial.
Tanpa pembicaraan tidak aka nada konsep diri, oleh karena itu untuk mengetahui siapa dirinya, seseorang harus menjadi anggota komunitas atau kelompok masyarakat. Merujuk pada pendapat Mead, diri (self) adalah proses mengkombinasikan I dan me. I adalah kekuatan spontan yang tidak dapat diprediksi. Ini adalah bagian dari diri yang tidak terorganisir. Sementara me adalah gambaran diri yang tampak dalam the looking glass self dari reaksi orang lain.
Me tidak pernah dilahirkan. Me hanya dapat dibentuk melalui interaksi simbolik secara terus menerus –melalui dari keluarga, teman bermain, sekolah, dan seterusnya. Oleh karena itulah seseorang membutuhkan komunitas untuk mendapatkan konsep dirinya. Seseorang membutuhkan the generalized others, yaitu berbagai hal (orang, objek, atau peristiwa) yang mengarahkan bagaimana kita berpikir dan berinteraksi dalam komunitas. Me adalah organized community dalam diri seorang individu.
Konsep Penting
Ada tiga konsep penting yang dibahas dalam teori interaksi simbolik. Hal ini sesuai dengan hasil pemikiran George H. Mead, yang dibukukan dengan judul Mind, Self and Society. Konsep pertama adalah pikiran (mind). Mead mendefinisikan pikiran sebagai kemampuan untuk menggunakan simbol yang mempunyai makna sosial yang sama. Mead juga percaya bahwa manusia harus mengembangkan pikiran melalui interaksi dengan orang lain. Bayi tidak akan berinteraksi dengan orang lain sampai ia mempelajari bahasa atau simbol-simbol baik verbal maupun nonverbal yang diatur dalam pola-pola untuk mengekspresikan pemikiran dan perasaan dan dimiliki bersama. Dengan menggunakan bahasa dan berinteraksi dengan orang lain, kita mengembangkan pikiran. Jadi pikiran dapat digambarkan sebagai cara orang menginternalisasi masyarakat. Akan tetapi pikiran tidak dapat hanya tergantung pada masyarakat.
Terkait dengan konsep pikiran, ada pemikiran (thought), yang merujuk pada percakapan di dalam diri sendiri. Mead berpandangan bahwa tanpa rangsangan sosial dan interaksi dengan orang lain, orang tidak akan mampu mengadakan pembicaraan dalam dirinya sendiri atau mempertahankan pemikirannya.
Salah satu aktivitas penting yang digunakan orang melalui pemikiran adalah pengambilan peran (role taking), atau kemampuan untuk secara simbolik menempatkan dirinya sendiri dalam diri khayalan dari orang lain. Kapan pun kita selalu berusaha untuk membayangkan bagaimana orang lain mungkin melihat kita, kita sebagai mereka. Kita selalu mengambil peran orang lain dalam diri kita. Pengambilan peran adalah sebuah tindakan simbolis yang dapat membantu menjelaskan perasaan kita mengenai diri dan juga memungkinkan kita untuk mengembangkan kapasitas untuk berempati dengan orang lain.
Konsep penting yang kedua adalah diri (self). Mead mendefinisikan diri sebagai kemampuan untuk merefleksikan diri kita sendiri dari perspektif orang lain. Diri bukan berasal dari intropeksi atau dari pemikiran sendiri yang sederhana. Namun diri berkembang dari sebuah jenis pengambilan peran khusus—maksudnya, membayangkan bagaimana kita dilihat oleh orang lain. Mead menyebut istilah ini sebagai cermin diri (loking-glass self), atau kemampuan kita untuk melihat diri kita sendiri dalam pantulan dari pandangan orang lain.
Mead mengamati bahwa bahasa orang mempunyai kemampuan untuk menjadi subjek dan objek bagi dirinya sendiri. Sebagai subjek, ia bertindak dan sebagai objek kita mengamati diri kita sendiri bertindak. Mead menyebut subjek atau diri yang bertindak sebagai I. sementara objek atau diri yang mengamati adalah Me. I bersifat spontan, impulsif dan kreatif, sedangkan Me lebih reflektif dan peka secara sosial. I mungkin berkeinginan untuk pergi keluar jalan-jalan malam, sementara Me mungkin lebih berhati-hati dan menyadari adanya pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Diri adalah sebuah proses yang mengintegrasikan antara I dan Me.
Konsep penting yang ketiga adalah masyarakat (society). Mead berargumen bahwa interaksi mengambil tempat di dalam sebuah struktur sosial yang dinamis—budaya, masyarakat dan sebagainya. Individu-individu lahir dalam konteks sosial yang sudah ada. Mead mendefinisikan masyarakat sebagai jejaring hubungan sosial yang diciptakan manusia. Individu-individu terlibat di dalam masyarakat melalui perilaku yang mereka pilih secara aktif dan sukarela. Jadi, masyarakat menggambarkan keterhubungan beberapa perangkat perilaku yang terus disesuaikan oleh individu-individu. Masyarakat ada sebelum individu tetapi diciptakan dan dibentuk oleh individu.