Home   Teori Komunikasi   Teori Negosiasi Muka

Teori Negosiasi Muka

Teori Negosiasi Muka 

Teori Negosiasi Muka (Face-Negotiation Theory) dikembangkan oleh Stella Ting-Toomey pada tahun 1988. Teori ini memberikan sebuah dasar untuk memperkirakan bagaimana manusia akan menyelesaikan karya muka dalam sebuah kebudayaan yang berbeda. Muka atau rupa mengacu pada gambar diri seseorang di hadapan orang lain. Hal ini melibatkan rasa hormat, kehormatan, status, koneksi, kesetiaan dan nilai-nilai lain yang serupa. Dengan kata lain rupa merupakan gambaran yang anda inginkan atau jati diri orang lain yang berasal dari anda dalam sebuah situasi sosial. Karya muka adalah perilaku komunikasi manusia yang digunakan untuk membangun dan melindungi rupa mereka serta untuk melindungi, membangun dan mengancam muka orang lain.

Teori ini merupakan teori gabungan antara penelitian komunikasi lintas budaya, konflik, dan kesantunan. Teori negosiasi muka memiliki daya tarik dan penerapan lintas budaya karena Stella Ting-Toomey—pencetus teori ini—berfokus pada sejumlah populasi budaya, termasuk Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Cina dan Amerika Serikat. Ting-Toomy menjelaskan bahwa budaya memberi bingkai interpretasi yang lebih besar di mana muka dan gaya konflik dapat diekspresikan dan dipertahankan secara bermakna.

Teori negosiasi muka adalah salah satu dari sedikit teori yang secara eksplisit mengakui bahwa orang dari budaya yang berbeda memiliki bermacam pemikiran mengenai “muka” orang lain. Pemikiran ini menyebabkan mereka menghadapi konflik dengan cara berbeda. Muka merupakan perpanjangan dari konsep diri seseorang, muka telah menjadi fokus dari banyak penelitian di dalam berbagai bidang ilmu.

Ting-toomey mendasarkan banyak bagian dari teorinya pada muka dan facework. Muka merupakan gambaran yang penting dalam kehidupan. Muka juga merupakan sebuah metafora bagi citra diri yang diyakini melingkupi seluruh aspek kehidupan sosial. Konsep ini bermula dari bangsa Cina. Bagi bangsa Cina muka dapat menjadi lebih penting dibandingkan kehidupan itu sendiri. Erving Goffman (1967) juga diakui sebagai sosok yang menempatkan muka dalam penelitian Barat kontemporer. Ia mengamati bahwa muka (face) adalah citra dari diri yang ditunjukkan orang dalam percakapan dengan orang lain. Goffman juga mendeskripsikan muka sebagai sesuatu yang dipertahankan, hilang atau diperkuat. Istilah ini setiap harinya dapat ditemukan dalam bahasa sehari-hari kita dengan penggunaan istilah “tebal muka”, “muka tembok”, jaim (jaga image), muka cemberut, muka kusut, dan lain sebagainya.

Ting-Toomey dan koleganya (Oetzel, Yokochi, Masumoto &Takai, 2000) mengamati bahwa muka berkaitan dengan nilai diri yang positif dan memproyeksikan nilai lain dalam situasi interpersonal. Namun demikian konsep muka ini kajian meluas tidak hanya pada konteks interpersonal namun dalam semua kontkes komunikasi. Seperti halnya bagaimana Presiden SBY—yang terkenal dengan presiden yang sangat menjaga citra—sebelum melakukan pidato, tidak jarang sangat memperhatikan penampilan apakah ia sudah nampak sempurna riasan di wajah, pecinya bahkan dasi atau aksesoris yang dikenakan lainnya. Istilah ini bisa juga bisa digunakan hingga bagaimana kita memakai pada konteks muka sebagai suatu bangsa yang besar (wajah Indonesia atau potret Indonesia).

Ting-Toomey (2004) telah memperluas pemikiran Goffman. Ia menggabungkan beberapa pemikiran dari penelitian mengenai kesantunan yang menyimpulkan bahwa keinginan mengenai muka merupakan keinginan yang universal. Ia juga berpendapat bahwa muka merupakan citra diri seseorang yang diproyeksikan dan merupakan klaim akan penghargaan diri dalam sebuah hubungan. Ia percaya bahwa muka melibatkan penampilan dari bagian depan (front stage) yang beradab kepada individu lain. Dalam hal ini, muka juga merupakan identitas yang didefinisikan oleh dua orang secara bersamaan dalam sebuah konteks komunikasi. Selain itu, muka adalah citra diri yang diakui secara sosial dan isu-isu citra lain yang dianggap penting. Oleh karena itu, muka adalah fenomena lintas budaya, yang artinya semua individu dalam semua budaya memiliki dan mengelola muka; muka melampaui semua budaya.

Keberagaman budaya sangat mempengaruhi cara orang-orang tersebut berkomunikasi. Walaupun muka adalah konsep universal, terdapat berbagai perbedaan yang merepresentasikan budaya mereka masing-masing. Kebutuhan akan muka ada di dalam semua budaya, tetapi semua budaya tidak mengelola kebutuhan muka ini secara sama. Ting-toomey berpendapat bahwa muka dapat diinterpretasikan dalam dua cara: kepedulian akan muka dan kebutuhan akan muka. Kepedulian akan muka (face concern) berkaitan dengan baik muka seseorang maupun muka orang lain. Terdapat kepentingan diri sendiri dan kepentingan orang lain. Contoh yang bisa dipakai adalah bagai mana ketika kita bertemu dengan orang yang berbeda budaya selalu berusaha menjaga image dan bersikap santun agar tidak menyinggung perasaan orang lain. Sementara kebutuhan akan muka (face need) merujuk pada dikotomi keterlibatan—otonomi. Contohnya ada sebagian budaya yang tidak suka tergantung kepada orang atau budaya lain, sehingga penampilan atau muka yang tampak bersifat cukek atau tidak peduli dengan orang lain.

Ting-Toomey dipengaruhi oleh penelitian mengenai kesantunan. Teori kesantunan Penelope Brown dan Stephen Levinson (1978) menyatakan bahwa orang akan menggunakan stratei kesantunan berdasarkan persepsi ancaman muka. Para peneliti menemukan dua kebutuhan universal: kebutuhan muka positif dan kebutuhan muka negatif.  Muka positif (positive face) adalah keinginan untuk disukai dan dikagumi oleh orang-orang penting dalam hidup kita. Sedangkan muka negatif (negative face) merujuk pada keinginan untuk memiliki otonomi dan tidak dikekang. Kebutuhan akan muka menjelaskan mengapa seorang mahaiswa yang ingin meminjam catatan temannya tidak akan meminta dengan langsung (“pinjam catatanmu, ya?”), tetapi lebih sering meminta dengan memberikan perhatian kepada keinginan muka negatif seseorang (“apakah bisa saya meminjam catatanmu sebentar? Saya mau fotokopi, dst—sambil memberikan banyak alasan lain).

Ketika muka positif atau negatif para komunikator sedang terancam, mereka cenderung mencari bantuan atau cara untuk mengembalikan muka mereka atau mitra mereka. Ting-Toomey mendefinisikan hal ini sebagai facework, atau tindakan yang diambil untuk menghadapi keinginan akan muka seseorang dan/atau orang lainnya. Stella Ting-Toomey dan Leeva Chung (2005) juga mengemukakan bahwa facework adalah mengenai strategi verbal dan nonverbal yang kita gunakan untuk memelihara, mempertahankan, atau meningkatkan citra diri sosial kita dan menyerang atau mempertahankan (atau menyelamatkan) citra sosial orang lain.

Teori ini dapat diperluas dengan mengidentifikasi tiga jenis facework, seperti dijelaskan oleh Te-Stop dan John Bowers (1991), yaitu: kepekaan, solidaritas dan pujian. Pertama facework ketimbangrasaan (tact facework) merujuk pada batas di mana orang menghargai otonomi seseorang. Facework ini memberikan kebebasan kepada seseorang untuk bertindak sebagaimana ia inginkan. Kedua, facework solidaritas (solidarity facework), berhubungan dengan seseorang menerima orang lain sebagai mana anggota dari kelompok dalam (in-group). Solidaritas meningkatkan hubungan di antara dua orang yang sedang berbicara, maksudnya perbedaan-perbedaan diminimalkan dan kebersamaan ditekankan melalui bahasa informal dan pengalaman-pengalaman yang dimiliki bersama. Ketiga, facework pujian (approbation facework), yang berhubungan peminimalan penjelekan dan pemaksimalan pujian kepada orang lain. Facework ini muncul ketika seseorang mengurangi fokus pada aspek negatif orang lain dan lebih berfokus pada aspek yang positif.

Beberapa asumsi teori Negosiasi Muka mencakup komponen-komponen penting dari teori ini: muka, konflik, dan budaya. Dengan demikian poin-poin berikut menuntun teori dari Ting-Toomey:

  1. Identitas diri penting di dalam interaksi interpersonal, dan individu-individu menegosiasikan identitas mereka secara berbeda dalam budaya yang berbeda.
  2. Manajemen konflik dimediasi oleh muka dan budaya.
  3. Tindakan-tindakan tertentu mengancam citra diri seseorang yang ditampilkan (muka).

Asumsi pertama menekankan pada identits diri (self identity) atau ciri pribadi atau karakter seseorang. Citra ini adalah identitas yang ia harapkan dan ia inginkan agar identitas tersebut diterima orang lain. Identitas diri mencakup pengalaman kolektif seseorang, pemikiran, ide, memori, dan rencana. Identitas diri tidak bersifat stagnan, melainkan dinegosiasikan dalam interaksi dengan orang lain. Orang memiliki kekhawatiran akan identitasnya atau muka (muka diri) dan identitas atau muka orang lain (muka lain). Budaya dan etnis mempengaruhi identitas diri, cara di mana individu memproyeksikan identitas dirinya juga bervariasi dalam budaya yang berbeda.

Para individu di dalam semua budaya memiliki beberapa citra diri berbeda bahwa mereka menegosiasikan citra ini secara terus menerus. Rasa akan diri seseorang merupakan hal yang sadar maupun tidak sadar. Artinya, dalam banyak budaya yang berbeda, orang-orang membawa citra yang mereka presentasikan kepada orang lain secara kebiasaan atau strategis. Bagaimana persepsi rasa akan diri kita dan bagaimana kita ingin orang lain mempersepsi kita merupakan hal yang sangat penting dalam komunikasi.

Asumsi kedua berkaitan dengan konflik, yang merupakan komponen utama dari teori ini. Konflik dapat merusak muka sosial seseorang dan dapat mengurangi kedekatan hubungan antara dua orang. konflik adalah ‘forum” bagi kehilangan muka dan penghiaan terhadap muka. Konflik mengancam muka kedua pihak dan ketika terdapat negosiasi yang tidak berkesesuaian dalam menyelesaikan konflik tersebut (seperti menghina orang lain, memaksakan kehendak, dst), konflik dapat memperparah situasi. Cara manusia disosialisasikan ke dalam budaya mereka dan memengaruhi bagaimana mereka akan mengelola konflik.

Asumsi ketiga berkaitan dengan dampak yang dapat diakibatkan oleh suatu tindakan terhadap muka. Dengan menggabungkan hasil penelitian mengenai kesantunan, Ting-Toomey menyatakan bahwa tindakan yang mengancam muka mengancam baik muka positif maupun muka negatif dari para partisipan. Ada dua tindakan yang menyusun proses ancaman terhadap muka: penyelamatan muka dan pemulihan muka. Pertama, penyalamatan muka (face-saving) mencakup usaha-usaha untuk mencegah peristiwa yang dapat menimbulkan kerentanan atau merusak citra seseorang. Penyelamatan wajah sering kali menghindarkan rasa malu. Pemulihan muka (face restoration) terjadi setelah adanya peristiwa kehilangan muka. Orang akan selalu berusaha untuk memulihkan muka dalam respons akan suatu peristiwa. Misalnya, alasan-alasan yang diberikan orang merupakan bagian dari teknik-teknik pemulihan muka ketika suatu peristiwa memalukan terjadi.

 

Budaya individualistik dan Kolektivistik

Budaya menurut Ting-toomey bukanlah variabel yang statis. Budaya dapat diinterpretasikan melalui banyak dimensi. Budaya dapat diorganisasikan dalam dua kontinum: individualism dan kolektivisme. Budaya individualistis adalah budaya “kemandirian” dan budaya kolektivitik adalah budaya “saling ketergantungan”. Budaya di seluruh dunia beragam dalam hal individualism dan kolektivisme. Kedua dimensi ini memainkan peranan yang penting dalam cara bagaimana facework dan konflik dikelola. Ting-Toomey dan koleganya mengklarifikasi bahwa individualisme dan kolektivisme berlaku tidak hanya pada budaya nasional, melainkan juga pada sub-budaya tertentu.

Individualisme merujuk pada kecenderungan orang untuk mengutamakan identitas individual dibandingkan identitas kelompok, hak individual dibandingkan hak kelompok, dan kebutuhan individu dibandingkan kebutuhan kelompok.  Individualisme adalah identitas “Aku”. Larry Samovar dan Richard poter (2004) percaya bahwa individualisme merupakan suatu pola yang penting di Amerika Serikat. Menurut mereka individualisme menekankan inisiatif individu, kemandirian, ekspresi individu, dan bahkan privasi. Nilai-nilai individualistik menekankan adanya antara lain kebebasan, kejujuran, kenyamanan, dan kesetaraan pribadi.

Individualisme melibatkan motivasi diri, otonomi, dan pemikiran mandiri. Individualisme menyiratkan komunikasi langsung (to the point) dengan orang lain yang sering dikenal dengan budaya komunikasi konteks rendah. Menurut ilmuan lintas budaya, individualisme dianggap penting di amerika Serikat, selain itu ada Australia, Inggris, Kanada, Belanda, dan Selindia Baru. Italia, belgia dan Denmark juga dianggapIndividualistik.

Apabila individualisme berfokus pada identitas personal seseorang, kolektivisme melihat ke luar diri sendiri. Kolektivisme adalah penekanan pada tujuan kelompok dibandingkan tujuan individu, kewajiban kelompok dibandingkan hak individu dan kebutuhan kelompok dibandingkan kebutuhan pribadi. Kolektivisme adalah identitas “Kita”. Orang-orang di dalam budaya kolektivistik menganggap penting berkerja sama den memandang diri mereka sebagai bagian dari kelompok yang lebih besar. Masyarakat kolektivistik mementingkan keterlibatan. Beberapa nilai kolektivistik diantaranya adalah menekankan keselarasan, menghargai keinginan orang tua, dan pemenuhan kebutuhan orang lain.

Kolektivisme menyiratkan komunikasi tidak langsung (lebih banyak basa-basi terlebih dulu), istilah sering dikenal dengan budaya komunikasi konteks tinggi. Contoh-contoh budaya kolektivistik meliputi Indonesia, Vietnam, Kolumbia, Venezuela, Panama, meksiko, Ekuador, dan Guatemala. Negara-negara ini umumnya miskin, bahkan bebeapa kemiskinan yang paling parah ditemukan di negara-negara kategori budaya kolektivistik. Karenanya orang-orang di beberapa budaya ini lebih tidak dituntun oelh aturan dan berfungsi sebagai kelompok lebih karena kebutuhan fisik dan ekonomi.

Ting-Toomey dan Chung (2005) berargumen bahwa anggota-anggota dari budaya yang mengikuti nilai-nilai individualitik cenderung lebih berorientasi pada muka diri, sementara anggota-anggota yang mengikuti nilai yang berorientasi pada kelompok cenderung lebih berorientasi pada muka orang lain atau muka bersama dalam sebuah konflik. Dalam budaya individualistik, manajemen muka (face  manajement) dilakukan secara terbuka yang melibatkan melindungi muka seseorang, bahkan jika harus melakukan tawar-menawar.

Budaya kolektivistik berkaitan dengan kemampuan adaptasi dari citra presentasi diri. Kemampuan beradaptasi memungkinkan munculnya ikatan yang saling tergantung dengan orang lain (muka positif). Maksudnya adalah anggota dari komunitas kolektivistik mempertimbangkan hubungan mereka dengan orang lain ketika mereka mendiskusikan sesuatu dan merasa bahwa suatu percakapan membutuhkan keberlanjutan dari kedua komunikator.

Konflik sering kali ada terjadi ketika anggota-anggota dari kedua budaya yang berbeda—individualistik dan kolektivistik—berkumpul bersama dan bahwa individu-individu akan menggunakan beberapa gaya konflik yang berbeda. Gaya-gaya ini merujuk pada respons yang berpola, atau cara khas untuk mengatasi konflik melintasi berbagai perjumpaan komunikasi. Gaya-gaya ini mencakup menghindar, menurut, berkompromi, mendominasi, dan mengintegrasikan. Dalam menghindar, orang akan berusaha menjauhi ketidaksepakatan dan menghindari pertukaran yang tidak menyenangkan dengan orang lain (“Saya sibuk” atau “Saya tidak ingin membicarakannya”). Gaya menurut mencakup akomodasi pasif yang berusaha memuaskan kebutuhan kebutuhan orang lain atau sepakat dengan saran-saran dari orang lain (“Saya ikut saja” atau “Apapun yang ingin anda lakukan saya tidak keberatan”).

Dalam berkompromi, individu-individu berusaha menemukan jalan tengah untuk mengatasi jalan buntu dan menggunakan pendekatan memberi-menerima sehingga kompromi dapat tercapai (“Saya akan tuda liburan ke Bali, Jika anda mau berkerja sama”). Gaya mendominasi mencakup perilaku-perilaku yang menggunakan pengaruh, wewenang atau keahlian untuk menyampaikan idea tau mengambil keputusan (“Posisi saya akan menentukan masalah ini”). Terakhir gaya mengintegrasikan digunakan untuk menemukan solusi masalah (‘Saya rasa kita harus menyelesaikan ini bersama-sama”). Tidak seperti berkompromi, integrasi membutuhkan perhatian yang tinggi untuk diri anda dan orang lain.

Keputusan untuk menggunakan satu atau lebih dari gaya-gaya ini akan bergantung dari variabilitas budaya dari komunikator. Manajemen konflik juga menganggap penting persoalan muka diri dan muka lain. Sehubungan dengan perbandingan yang melintasi lima budaya (Jepang, Cina, Korea Selatan, Taiwan dan Amerika Serikat), Ting-Toomey dan para kolega dalam penelitiannya (1991) menemukan beberapa hal:

  1. Anggota-anggota dari budaya Amerika Serikat menggunakan lebih banyak gaya mendominasi dalam manajemen konflik.
  2. Orang Taiwan menyatakan bahwa lebih banyak menggunakan gaya mengintegrasikan dalam manajemen konflik.
  3. Orang Cina dan Taiwan menggunakan lebih banyak gaya menurut.
  4. Orang Cina lebih banyak menggunakan tingkat menghindar yang tinggi sebagai gaya konflik dibandingkan kelompok budaya lainnya.
  5. Orang Cina menggunakan tingkat kompromi yang lebih tinggi dari budaya-budaya lainnya.

Penelitian mereka juga menunjukkan bahwa budaya kolektivistik (Cina, Korea dan Taiwan) memiliki tingkat perhatian terhadap muka lain yang lebih tinggi. Dari sini jelaslah bahwa penelitian mengenai muka dan konflik menunjukkan variabilitas budaya memengaruhi bagaimana konflik dikelola.

Dalam budaya kolektivis, keanggotaan dalam kelompok biasanya merupakan sumber utama identitas. Bagi masyarakat Jepang, wajah melibatkan, “kehormatan, kesopanan, kehadiran, dan pengaruh pada orang lain”. Di antara masyarakat Cina, “memperoleh dan kehilangan wajah dekat hubungannya dengan masalah harga diri, martabat, penghingaan, rasa malu, aib, kerendahan hati, kepercaayaan, rasa curiga, rasa hormat dan gengsi”.

Sikap yang berbeda menyangkut apa yang mewakili wajah memiliki pengaruh yang nyata pada bagaimana budaya memandang dan mendekati konflik. Dalam budaya kolektif, konflik dalam kelompok-dalam “dianggap merusak wajah sosial dan keharmonisan hubungan, jadi harus dihindari sedapat mungkin”. Ting-Toomey (dalam Samovar 2010: 260) menyatakan bahwa ketika berhadapan dengan sesuatu yang berpotensi menimbulkan konflik, masyarakat dari budaya kolektivis cenderung menghindar. Di Jepang, memeriksa tagihan atau bon akan mengakibatkan hilangnya wajah karyawan toko atau toko itu sendiri. Masyarakat dari budaya individualistis bagaimanapun, lebih peduli pada wajahnya sendiri dan cenderung menghadapi dan menggunakan pendekatan yang berorientasi pada solusi untuk mengatasi konflik. Di Amerika, memeriksa tagihan atau bon sebelum membayarnya adalah hal yang biasa.

Perilaku berbeda terhadap konflik menimbulkan gaya komunikasi budaya yang cukup berbeda. Selama komunikasi antarbudaya terjadi, gaya yang berlawanan ini dapat menimbulkan kebingungan, kesalahpahaman, atau bahkan kebencian di antara pelaku komunikasi. Hal yang sama juga berlaku pada gaya komunikasi tidak langsung (seperti pada budaya konteks tinggi) dalam rangka mempertahankan hubungan baik dapat menimbulkan efek yang sebaliknya di antara peserta individualistis yang menganggap bahwa interaksi dapat mengancam wajah. Bagi orang Indonesia mungkin menyapa seseorang mungkin suatu bentuk keramah-tamahan, namun belum tentu bagi orang Amerika mungkin itu bisa dimaknai hal yang mengganggu.

 

Get Best Services from Our Business.